Puncak Cikurai Garut 2818 mdpl
Hari itu Sabtu, 16 Juni 2012 menjelang siang. Tiba-tiba kuingin mendaki Gunung
tertinggi di Kabupaten Garut dengan ketinggian 2.818 meter di atas permukaan
laut (mdpl), sebut saja Cikurai. Konon katanya gunung yang berdiri kokoh ini
disebut sebagai “negeri di atas awas”, sehingga banyak pendaki yang tertarik.
Untuk memenuhi hasratku itu, ku ajak 4 orang teman sepekerjaan yang belum
pernah naik gunung dan seorang yang pernah ke sana. Awalnya mereka tak percaya
dan hanya menanggapi dengan lelucon. Tapi setelah kuyakinkan, akhirnya mereka siap.
Sekitar jam 12 kami pulang menuju rumah masing2 untuk mengemasi perlengkapan
dan perbekalan. Kami sepakat untuk berkumpul jam 13 di satu tempat.
Setelah semua berkumpul, cek perlengkapan & perbekalan seadanya ditambah
‘tenda pramuka’ dan sebuah gitar kami berangkat menggunakan Elf sampai Mesjid
Agung Cikajang. Setiba di sana, kami kumpulkan uang untuk membeli 2 bu...ngkus
bahan bakar padat (karena tidk tahu teman saya nyebutnya marapin) seharga Rp.
30.000,- Dan lagi-lagi menggelikan, saya baru sadar rupanya ada yang salah
kostum; ada yang pakai kemeja alisan, sandal kulit seperti mau kondangan dengan
tas shaun the ship dan ada juga yang pakai sepatu pentopel. Di sini gelak tawa
kami sudah dimulai..
Karen kterbatasan dana yang kami miliki, saat itu pukul 3 sore kami memutuskan
untuk berjalan kaki sampai ke batas hutan. Tiba di sebuah Masjid di kampung
terakhir (Kp. Olan) jam 16.30, kami tunaikan dulu sholat Asar di sana. Setelah
dirasa cukup beristirahat, perjalananpun dilanjutkan. Tiba di batas hutan sudah
hampir Magrib, hari sudah mulai gelap. Kamipun berhenti di sana, mengambil
persediaan air, shalat sekalian ngisi perut. Setelah semua menarik napas karena
menatap gelapnya rimba yang akan dilalui.
Dengan mengucap Bismillah, akhirnya kami 6 orang bergerak dalam gelap malam
menyusuri rimba belantara dengan satu buah lampu senter yang sudah redup dan
satu senter HP dengan tubuh kami diikat seutas tali harness sepanjang 5 m.
Singkat cerita, kami tiba di puncak jam 22.30. BANGGA dan TERHARU saat berada
di tanah tertinggi Garut.
Setiba di puncak, dengan hati lega, mulut kami
mengucap syukur “Alhamdulillah”, dan kami teriak sekencang-kencangnya
“Assalamu’alaikum” tetapi teriakan kami tidak ada yang nyahut, pendaki yang
telah berada di puncak asyik saja di dalam tenda masing2.
Saya dan 5 orang teman bergegas menghampiri pos, tetapi di dalam pos itu sudah terisi rombongan pendaki. Akhirnya kami pasang matras di pinggir pos untuk menghindari hembusan angin yang kencang, kami nyalakan paraffin untuk menyeduh kopi hitam dan mie instan.. susahnya minta ampun, sampai2 jari terasa sakit hanya untuk menyalakan pemantik api (gasoline) karena dingin yang cukup hebat.. akhirnya setelah terus dicoba dan api menyala juga dan airpun mendidih, kami pun menikmati mie instan dan kopi hitam yang terasa cepat sekali dingin.
Malam kian larut, rasa kantukpun mulai hinggap di pelupuk mata. Kami sempat kebingungan, bagaimana caranya mendirikan tend ...a pramuka??? Tak ada tali, tak ada tiang.. akhirnya tenda itu kami jadikan alas tidur dan sebagiannya lagi dijadikan selimut..
Hampir menjelang pagi, kami dibangunkan oleh sorot lampu senter ka wajah kami dari rombongan pendaki yang baru datang lewat jalur Cilawu. Mungkin kami dianggap orang aneh karena beda dari kelompok pendaki lain yang tidur enak di dalam tenda dome yang mahal, sedangkan kami tergeletak di atas tanah beratapkan langit.
Ku lihat awan jingga di sebelah timur, dengan penuh semangat saya bangun dan mengambil kamera. Lalu berfoto ria di antara di atas hamparan awan putih dan mentari pagi yang seolah2 terbit dari bawah kaki. Ku lihat Gunung Ciremai dan Gunung Slamet Jawa Tengah tinggi menjulang di sebelah timur, sebelah utara hamparan kota Garut yang sungguh indah, sebelah selatan terlihat jelas Garut selatan dengan batas pantainya. Pagi itu pun kami sempat memainkan gitar sambil menikmati hangatnya kopi hitam, bersama kretek dalam sinar mentari pagi yang menghangatkan badan.
Sekitar jam 9 pagi, setelah sarapan pagi kami mengemasi seluruh barang2 (packing) untuk turun melewati jalur yang kami lewati semalam. Sekitar lima belas menit dari puncak, kami menemukan jalan cagak, kami mengambil jalur kanan. Sepanjang jalan bertanya-tanya, “naha euy teu manggih nu datar, da peuting mah aya nu datar. Pasti nyasab ieumah” sambill terus menyusuri jalan setapak. Setelah hampir 2 jam, kami mulai keluar hutan dan menemukan kebun yang luas terhampar. Ternyata kami salah jalan, kami turun lewat jalur Bayongbong .
Saya dan 5 orang teman bergegas menghampiri pos, tetapi di dalam pos itu sudah terisi rombongan pendaki. Akhirnya kami pasang matras di pinggir pos untuk menghindari hembusan angin yang kencang, kami nyalakan paraffin untuk menyeduh kopi hitam dan mie instan.. susahnya minta ampun, sampai2 jari terasa sakit hanya untuk menyalakan pemantik api (gasoline) karena dingin yang cukup hebat.. akhirnya setelah terus dicoba dan api menyala juga dan airpun mendidih, kami pun menikmati mie instan dan kopi hitam yang terasa cepat sekali dingin.
Malam kian larut, rasa kantukpun mulai hinggap di pelupuk mata. Kami sempat kebingungan, bagaimana caranya mendirikan tend ...a pramuka??? Tak ada tali, tak ada tiang.. akhirnya tenda itu kami jadikan alas tidur dan sebagiannya lagi dijadikan selimut..
Hampir menjelang pagi, kami dibangunkan oleh sorot lampu senter ka wajah kami dari rombongan pendaki yang baru datang lewat jalur Cilawu. Mungkin kami dianggap orang aneh karena beda dari kelompok pendaki lain yang tidur enak di dalam tenda dome yang mahal, sedangkan kami tergeletak di atas tanah beratapkan langit.
Ku lihat awan jingga di sebelah timur, dengan penuh semangat saya bangun dan mengambil kamera. Lalu berfoto ria di antara di atas hamparan awan putih dan mentari pagi yang seolah2 terbit dari bawah kaki. Ku lihat Gunung Ciremai dan Gunung Slamet Jawa Tengah tinggi menjulang di sebelah timur, sebelah utara hamparan kota Garut yang sungguh indah, sebelah selatan terlihat jelas Garut selatan dengan batas pantainya. Pagi itu pun kami sempat memainkan gitar sambil menikmati hangatnya kopi hitam, bersama kretek dalam sinar mentari pagi yang menghangatkan badan.
Sekitar jam 9 pagi, setelah sarapan pagi kami mengemasi seluruh barang2 (packing) untuk turun melewati jalur yang kami lewati semalam. Sekitar lima belas menit dari puncak, kami menemukan jalan cagak, kami mengambil jalur kanan. Sepanjang jalan bertanya-tanya, “naha euy teu manggih nu datar, da peuting mah aya nu datar. Pasti nyasab ieumah” sambill terus menyusuri jalan setapak. Setelah hampir 2 jam, kami mulai keluar hutan dan menemukan kebun yang luas terhampar. Ternyata kami salah jalan, kami turun lewat jalur Bayongbong .
Setelah
kami sadar bahwa kami telah salah jalur, kami mencoba bertanya kepada petani
"Punten Mang, ari ieu daerah naon? ka Olan caket teu Mang?", petani
menjawab "Ieumah Perkebunan Waspada jang!, tebih atuh ka Olan mah ngalangkungan
lima bukit, caket ka Bayongbong tah kapayun jalan ngalangkungan pabrik".
Sambil terus menuruni bukit perkebunan kopi, sambil
berbisik "mang ukeun kopi" sesekali kami memetik buahnya yang sudah
merah sekedar untuk menghilangkan haus, kami berdiskusi. Karena diperkirakan
jika lewat Bayongbong, sisa uang tidak akan cukup maka kami memutuskann untuk
jalan kaki menuju alun2 Cikajang.
Sekitar jam 12 siang, kami beristirahat di kebun
kentang..sambil duduk istirahat dengan wajah tanpa dosa, tangan kami terus
bergerak masuk ke dalam tanah mencari kentang. Tidak terasa, veldfles (kempis)
dan saku celana PDL sudah terisi penuh dengan kentang, kami pun melanjutkan
perjalanan. Tiba di saluran air kecil (solokan), kami berhenti untuk memasak
kentang-kentang itu. Dengan modal sisa parafin dan garam, kami memasaknya.
Saat kami sedang asyik beristirahat sambil menunggu
"kulub kentang" matang, lewat seorang pa tani yang membawa rumput.
Dia berhenti dan bertanya "nuju naraon jang, marulih ti mana?", kami
menjawab "nuju ngulub kentang mang, eta pamasihan tadi ti palih
tonggoh" (terpaksa kami berbohong), "cing mang punten manawi kagungan
pahpir? kaleresan bako na mah aya weuteuh mung kaleresan kamari hilap meser
pahpir' tanya saya pada pa tani itu, "oh aya jang, mangga weh candak
sadayana da seueur keneh pahpirmah".
Kami tertawa riang, karena dapat kembalil menghisap
roko meskipun hanya sisa tembakau. Tak lama kemudian, kentangpun matang.
setelah dirasa cukup istirahat sambil menghabiskan kulub kentang dan menikmati
asap tembakau, kami berjalan melanjutkan perjalanan menyusuri bukit. Setelah
masuk ke wilayah yang dapat dilalui kendaraan, kami "megat kolbak"
dan Alhamdulillah meskipun hanya sampai di persimpangan jalan cukup meringankan
beban perjalanan kami.
Setelah turun dari mobil bak itu, kami kembali berjalan
"longmarch" jalan raya, di bawah terik matahari yang menyengat..
sesekali kami beristirahat di pinggir jalan sambil berharap ada kendaraan yang
mau membawa kami sampai Cigedug, Namun harapan kami sirna karena tak ada
satupun kendaraan yang mau berhenti saat kami stop.
Setelah berjam-jam berjalan melintasi bukit dan jalan
raya, sampailah kami di Kecamatan Cigedug, "Alhamdulillah geus deukeut
euy" gumam teman saya, yang padahal masih cukup panjang jika harus ditempuh
dengan jalan kaki. Hampir semua dari kami sudah tidak "jejeg
leumpang" karena kaki pada lecet, maklum ada yang tidak biasa memakai
sepatu tentara (PDL) yang keras dan terasa menggigit. Ada satu teman yang sudah
menyerah, sepatu PDL nya di buka, lalu digantung di carrier teman yg lain. kami
berhenti di sebuah warung, untuk membeli Teh Eco, saat akan melanjutkan
perjalanan, tiba2 kami sadar ternyata teman yang hampir nangis dan sepatunya
dibuka itu tidak ada, kami menyangka mungkin dia sudah jalan duluan. kamipun
terus berjalan, tetapi sampai di alun2 kami tidak juga bertemu teman saya itu.
Sekitar jam 4 sore, kami tiba di alun-alun Cikajang.
Saat kami sedang "jajan bajigur" di depan mesjid agung Cikajang,
kelihatan dia sedang "baeud", kami teriak "kadieu bajigur
ngeunah", dia jawab "mangga, sok weh. abdi ti payun nya teu
kiat" sambil beranjak menunggu angkot. Setelah cukup istirahat, kami
menunggu Elf di pinggir jalan seberang Mie Baso "ANWAR". Kaki lecet,
badan bau, hidung megar, perut lapar sudah tidak kami hiraukan.
Tidak lama kemudian, lewat Elf Singajaya. kami tidak
mau masuk ke dalam, kami naik ke atas "ngangin dina luhur mobil"...
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking