Saterdag 18 Mei 2013

SEPENGGAL KISAH SANG PENEMPUH RIMBA


Puncak Cikurai Garut 2818 mdpl



Hari itu Sabtu, 16 Juni 2012 menjelang siang. Tiba-tiba kuingin mendaki Gunung tertinggi di Kabupaten Garut dengan ketinggian 2.818 meter di atas permukaan laut (mdpl), sebut saja Cikurai. Konon katanya gunung yang berdiri kokoh ini disebut sebagai “negeri di atas awas”, sehingga banyak pendaki yang tertarik.
Untuk memenuhi hasratku itu, ku ajak 4 orang teman sepekerjaan yang belum pernah naik gunung dan seorang yang pernah ke sana. Awalnya mereka tak percaya dan hanya menanggapi dengan lelucon. Tapi setelah kuyakinkan, akhirnya mereka siap. Sekitar jam 12 kami pulang menuju rumah masing2 untuk mengemasi perlengkapan dan perbekalan. Kami sepakat untuk berkumpul jam 13 di satu tempat.
Setelah semua berkumpul, cek perlengkapan & perbekalan seadanya ditambah ‘tenda pramuka’ dan sebuah gitar kami berangkat menggunakan Elf sampai Mesjid Agung Cikajang. Setiba di sana, kami kumpulkan uang untuk membeli 2 bu...ngkus bahan bakar padat (karena tidk tahu teman saya nyebutnya marapin) seharga Rp. 30.000,- Dan lagi-lagi menggelikan, saya baru sadar rupanya ada yang salah kostum; ada yang pakai kemeja alisan, sandal kulit seperti mau kondangan dengan tas shaun the ship dan ada juga yang pakai sepatu pentopel. Di sini gelak tawa kami sudah dimulai..
Karen kterbatasan dana yang kami miliki, saat itu pukul 3 sore kami memutuskan untuk berjalan kaki sampai ke batas hutan. Tiba di sebuah Masjid di kampung terakhir (Kp. Olan) jam 16.30, kami tunaikan dulu sholat Asar di sana. Setelah dirasa cukup beristirahat, perjalananpun dilanjutkan. Tiba di batas hutan sudah hampir Magrib, hari sudah mulai gelap. Kamipun berhenti di sana, mengambil persediaan air, shalat sekalian ngisi perut. Setelah semua menarik napas karena menatap gelapnya rimba yang akan dilalui.
Dengan mengucap Bismillah, akhirnya kami 6 orang bergerak dalam gelap malam menyusuri rimba belantara dengan satu buah lampu senter yang sudah redup dan satu senter HP dengan tubuh kami diikat seutas tali harness sepanjang 5 m. Singkat cerita, kami tiba di puncak jam 22.30. BANGGA dan TERHARU saat berada di tanah tertinggi Garut.
Setiba di puncak, dengan hati lega, mulut kami mengucap syukur “Alhamdulillah”, dan kami teriak sekencang-kencangnya “Assalamu’alaikum” tetapi teriakan kami tidak ada yang nyahut, pendaki yang telah berada di puncak asyik saja di dalam tenda masing2.
Saya dan 5 orang teman bergegas menghampiri pos, tetapi di dalam pos itu sudah terisi rombongan pendaki. Akhirnya kami pasang matras di pinggir pos untuk menghindari hembusan angin yang kencang, kami nyalakan paraffin untuk menyeduh kopi hitam dan mie instan.. susahnya minta ampun, sampai2 jari terasa sakit hanya untuk menyalakan pemantik api (gasoline) karena dingin yang cukup hebat.. akhirnya setelah terus dicoba dan api menyala juga dan airpun mendidih, kami pun menikmati mie instan dan kopi hitam yang terasa cepat sekali dingin.

Malam kian larut, rasa kantukpun mulai hinggap di pelupuk mata. Kami sempat kebingungan, bagaimana caranya mendirikan tend
...a pramuka??? Tak ada tali, tak ada tiang.. akhirnya tenda itu kami jadikan alas tidur dan sebagiannya lagi dijadikan selimut..
Hampir menjelang pagi, kami dibangunkan oleh sorot lampu senter ka wajah kami dari rombongan pendaki yang baru datang lewat jalur Cilawu. Mungkin kami dianggap orang aneh karena beda dari kelompok pendaki lain yang tidur enak di dalam tenda dome yang mahal, sedangkan kami tergeletak di atas tanah beratapkan langit.

Ku lihat awan jingga di sebelah timur, dengan penuh semangat saya bangun dan mengambil kamera. Lalu berfoto ria di antara di atas hamparan awan putih dan mentari pagi yang seolah2 terbit dari bawah kaki. Ku lihat Gunung Ciremai dan Gunung Slamet Jawa Tengah tinggi menjulang di sebelah timur, sebelah utara hamparan kota Garut yang sungguh indah, sebelah selatan terlihat jelas Garut selatan dengan batas pantainya. Pagi itu pun kami sempat memainkan gitar sambil menikmati hangatnya kopi hitam, bersama kretek dalam sinar mentari pagi yang menghangatkan badan.

Sekitar jam 9 pagi, setelah sarapan pagi kami mengemasi seluruh barang2 (packing) untuk turun melewati jalur yang kami lewati semalam. Sekitar lima belas menit dari puncak, kami menemukan jalan cagak, kami mengambil jalur kanan. Sepanjang jalan bertanya-tanya, “naha euy teu manggih nu datar, da peuting mah aya nu datar. Pasti nyasab ieumah” sambill terus menyusuri jalan setapak. Setelah hampir 2 jam, kami mulai keluar hutan dan menemukan kebun yang luas terhampar. Ternyata kami salah jalan, kami turun lewat jalur Bayongbong
.

Setelah kami sadar bahwa kami telah salah jalur, kami mencoba bertanya kepada petani "Punten Mang, ari ieu daerah naon? ka Olan caket teu Mang?", petani menjawab "Ieumah Perkebunan Waspada jang!, tebih atuh ka Olan mah ngalangkungan lima bukit, caket ka Bayongbong tah kapayun jalan ngalangkungan pabrik".
Sambil terus menuruni bukit perkebunan kopi, sambil berbisik "mang ukeun kopi" sesekali kami memetik buahnya yang sudah merah sekedar untuk menghilangkan haus, kami berdiskusi. Karena diperkirakan jika lewat Bayongbong, sisa uang tidak akan cukup maka kami memutuskann untuk jalan kaki menuju alun2 Cikajang.
Sekitar jam 12 siang, kami beristirahat di kebun kentang..sambil duduk istirahat dengan wajah tanpa dosa, tangan kami terus bergerak masuk ke dalam tanah mencari kentang. Tidak terasa, veldfles (kempis) dan saku celana PDL sudah terisi penuh dengan kentang, kami pun melanjutkan perjalanan. Tiba di saluran air kecil (solokan), kami berhenti untuk memasak kentang-kentang itu. Dengan modal sisa parafin dan garam, kami memasaknya.
Saat kami sedang asyik beristirahat sambil menunggu "kulub kentang" matang, lewat seorang pa tani yang membawa rumput. Dia berhenti dan bertanya "nuju naraon jang, marulih ti mana?", kami menjawab "nuju ngulub kentang mang, eta pamasihan tadi ti palih tonggoh" (terpaksa kami berbohong), "cing mang punten manawi kagungan pahpir? kaleresan bako na mah aya weuteuh mung kaleresan kamari hilap meser pahpir' tanya saya pada pa tani itu, "oh aya jang, mangga weh candak sadayana da seueur keneh pahpirmah".
Kami tertawa riang, karena dapat kembalil menghisap roko meskipun hanya sisa tembakau. Tak lama kemudian, kentangpun matang. setelah dirasa cukup istirahat sambil menghabiskan kulub kentang dan menikmati asap tembakau, kami berjalan melanjutkan perjalanan menyusuri bukit. Setelah masuk ke wilayah yang dapat dilalui kendaraan, kami "megat kolbak" dan Alhamdulillah meskipun hanya sampai di persimpangan jalan cukup meringankan beban perjalanan kami.
Setelah turun dari mobil bak itu, kami kembali berjalan "longmarch" jalan raya, di bawah terik matahari yang menyengat.. sesekali kami beristirahat di pinggir jalan sambil berharap ada kendaraan yang mau membawa kami sampai Cigedug, Namun harapan kami sirna karena tak ada satupun kendaraan yang mau berhenti saat kami stop.
Setelah berjam-jam berjalan melintasi bukit dan jalan raya, sampailah kami di Kecamatan Cigedug, "Alhamdulillah geus deukeut euy" gumam teman saya, yang padahal masih cukup panjang jika harus ditempuh dengan jalan kaki. Hampir semua dari kami sudah tidak "jejeg leumpang" karena kaki pada lecet, maklum ada yang tidak biasa memakai sepatu tentara (PDL) yang keras dan terasa menggigit. Ada satu teman yang sudah menyerah, sepatu PDL nya di buka, lalu digantung di carrier teman yg lain. kami berhenti di sebuah warung, untuk membeli Teh Eco, saat akan melanjutkan perjalanan, tiba2 kami sadar ternyata teman yang hampir nangis dan sepatunya dibuka itu tidak ada, kami menyangka mungkin dia sudah jalan duluan. kamipun terus berjalan, tetapi sampai di alun2 kami tidak juga bertemu teman saya itu.
Sekitar jam 4 sore, kami tiba di alun-alun Cikajang. Saat kami sedang "jajan bajigur" di depan mesjid agung Cikajang, kelihatan dia sedang "baeud", kami teriak "kadieu bajigur ngeunah", dia jawab "mangga, sok weh. abdi ti payun nya teu kiat" sambil beranjak menunggu angkot. Setelah cukup istirahat, kami menunggu Elf di pinggir jalan seberang Mie Baso "ANWAR". Kaki lecet, badan bau, hidung megar, perut lapar sudah tidak kami hiraukan.
Tidak lama kemudian, lewat Elf Singajaya. kami tidak mau masuk ke dalam, kami naik ke atas "ngangin dina luhur mobil"...

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking